Wednesday, February 3, 2010

Prakata

Di bulan lalu ada suatu hari dimana saya memperingati hari lahir saya.

Umur saya berkurang namun tetap merasa senang.
Banyak ucapan selamat diterima, dari yang standar “wish you all the best” (mungkin karena tidak enak tidak mengucapkan karena sudah telanjur liat kalender FB bahwa di hari tersebut ada yang berulang tahun – saya) hingga harapan dari teman-teman semoga saya segera menemukan Sang Adam.

Terima kasih ya…

Lalu ada hadiah dari orang-orang terkasih yang mana beberapa dari hadiah tersebut saya pilih sendiri.
Tidak mengapa tidak surprise, selama saya merasa senang.

Ini…
Blog ini adalah hadiah dari dua sahabat saya (mereka adalah pasangan yang saling mengagumi satu sama lain).
Jadi demi tidak menyia-nyiakannya, saya akan berbagi tulisan melaluinya.
Tulisan yang pasti bercerita tentang saya, para sahabat, teman, keluarga, apa saja.
Mari menulis!

Terima kasih Dgul dan Sarap… moga hadiahnya bermanfaat ^^v

Sunday, January 17, 2010

Nasto ingin Mawar

Nasto, bagaimana aku mengingatnya? Ya, tanggal itu, 28 Desember 2008 jika saya tidak salah. Dega, teman saya waktu itu, menelpon: membicarakan rencananya datang ke Bandung untuk suatu urusan yakni liburan. Oke, Dega, berapa orang kalian itu? Kami berenam, bisa tolong carikan penginapan? Tak usah, bagaimana jika menginap saja di rumahku? Akhirnya ia setuju. Datanglah mereka di tanggal itu, 28 Desember. Menaiki travel Baraya, kujemput mereka. Rombongan yang saya tak sempat cek apakah enam atau bukan. Sebelum masuk mobil, mereka berdiskusi singkat soal siapa duduk dimana. Dan diputuskanlah: seseorang bernama Anast, duduk di depan, di samping saya.

Perasaan saya waktu itu, canggung sekali. Karena sebelum penjemputan, saya cuma kenal Dega. Dega yang diam-diam saya suka. Diam-diamkah? Yang lain baru dikenalkan waktu itu. Orang-orang yang sulit saya ingat namanya karena perkenalkan dilakukan ketika saya sedang menyetir di kegelapan malam. Yang saya ingat betul, adalah seseorang di samping saya, yang merupakan Anast: entah kenapa, sering jadi bahan bercandaan teman-temannya.

Mereka menginap semalam saja. Besok siangnya sudah pergi lagi, melihat-lihat Lembang dan Tangkuban Perahu-nya. Sampai saat itu, saya tidak banyak mengingat Anast. Tapi bolehlah dibilang itu awal perkenalan.

Semuanya berlalu, dan tak saya sangka kami akan kembali bertemu. Sudah lama sejak hari itu, kami berjumpa di dunia maya, tepatnya tanggal 15 Juli 2009. Ia datang, membantu saya yang kesulitan memahami Dega. Oia, saya dan Dega akhirnya berpacaran. Dan dalam waktu yang singkat saja, kami putus. Beberapa menit saja setelah berakhirnya hubungan, saya mengubah status in a relationship di Facebook, dan seketika itu juga hadirlah Anast mengomentari. Komentarnya singkat, cuma memberi semangat.

Esoknya ia menyapa saya di FB Chat. Dan akhirnya kami berinteraksi. Sungguh, buat saya ia masih orang asing. Seseorang yang saya temui lebih dari setengah tahun lalu dalam kondisi selewat saja. Tapi kualitas interaksinya, seperti saya ini korban bencana, yang dengan cepat tanggap ia datang membagikan berdus-dus indomie dan biskuit. Tanpa mesti kenal dekat, yang penting ia seolah tahu: orang ini mesti dibantu. Lalu kami berbincang lama, dan ia menawarkan untuk memediasi kami agar rujuk.

Rujuk pun berhasil, biarpun tidak langsung melalui Anast, melainkan beberapa usaha saya sendiri yang saya bilang sih, gigih dan keras. Setelah saya dan Dega kembali berpacaran, Anast tidak berhenti menganggap saya korban bencana. Atau setidaknya: sudah bukan korban, tapi tetap butuh restrukturisasi bangunan dan mental. Ia pun rajin mengirimkan e-mail. E-mail yang berisi berbagai tips soal bagaimana mengatasi Dega. E-mailnya sederhana, dan ada beberapa yang informasinya sudah saya ketahui, tapi ia tetap berguna, oleh karena dua hal: satu, kumpulan e-mail itu membuat saya dan Dega semakin akrab, karena tak berhenti tertawa kala membacanya. Dua, saya jadi tahu, bahwa ada, ya, ada, orang macam itu, yang berhati bersih, tulus, dan mau berkorban demi kebahagiaan sahabatnya. Apa enaknya memang, capek-capek mengirimi saya e-mail panjang lebar atau memediasi, jika belum terlalu kenal saya ini? Dan apa untungnya bagi ia, berdasarkan ukuran materiil, jika hubungan saya dan Dega menjadi baik dan harmonis?

Oh, sungguh, tidak mudah menjawab itu, jika kau bukan seseorang yang menghargai betapa berharganya sebuah persahabatan, jika kau orang yang menganggap hubungan antar manusia ini laksana memetik mahkota mawar. Ketahuilah bahwa mawar, mahkotanya, adalah bagian terindah dari mawar. Tapi ia tak jadi apapun jika kau ceraikan dari tangkainya. Tangkainya yang penuh duri itu. Anast, yang akhirnya saya ketahui dipanggil Nasto juga, ingin mawar sepenuhnya. Ia ambil keseluruhannya dari pangkal, tangkai dan mahkota. Darah mengucur di lengan, tapi ia bisa namai itu mawar sejati.


Syarif Maulana

Anastasia Khairunnisa

Anast namanya, Nasto begitu biasa kumemanggilnya. Setahun lebih muda dariku, tapi tidak akan terlihat kecuali jika kau telah menghabiskan banyak waktu dengannya. Karena fakta itu akan terangkat melalui tema-tema yang seringkali dibahasnya, mulai dari aktor-aktor Asia pujaannya, jajanan favoritnya (jajanan yang dimaksud adalah jajanan definisi anak-anak, seperti chiki, cokelat yang rasanya tidak seperti cokelat, snack rasa keju yang benar-benar membuat haus karena kaya akan MSG), film-film yang sanggup membuatnya menangis termehek-mehek, serta cerita-cerita konyol kejadian di rumahnya, lebih tepatnya pertengkaran yang terjadi antara dia dan abangnya atau mamanya.

Ada satu cerita favoritku, suatu hari saat dia kecil, mamanya memasakkan ikan lele, Nasto dan abangnya yang ternyata suka dengan ikan ini berebut hingga akhirnya berkelahi (Ini yang namanya perut kosong membawa maut ya? Istilah yang sering kudengar di acara-acara kriminal). Esoknya sang mama menggoreng 1 kg ikan lele sebagai bentuk kekesalan atas kelakuan anak-anaknya, Nasto dan abang menyambut lele-lele tersebut dengan riang gembira hingga mereka mendengar persyaratan yang disampaikan sang mama bahwa mereka berdua harus menghabiskan semua ikan lele tersebut, tanpa sisa. Wuakakakakak… (oops! Sorry Nasto..) Jadilah mereka memakan lele-lele tersebut tanpa sisa, tapi menyisakan rasa trauma yang mendalam pada diri temanku itu.

Salah satu kenalanku yang benar-benar menguasai kemampuan membaca adalah si Nasto ini. Yang kumaksud adalah kemampuan membaca, lalu mencerna, memahami dengan mencoba menghubungkan cerita dengan dirinya, orang-orang dalam hidupnya, hingga membayangkan bahwa dia adalah tokoh dalam cerita. Tidak berhenti di situ, pemahaman yang sudah didapatnya seringkali diterapkan dalam kehidupan nyatanya, mulai dengan mengadaptasi menjadi caranya menghadapi masalah, menghadapi orang lain, kebudayaan baru, hingga menjadi ilmu yang seringkali bermanfaat di kelas. Oh iya, awal kedekatan kami karena kami teman sekelas di kampus. Nasto ini juga memiliki tingkat kepekaan yang tinggi terhadap lingkungan sosialnya, kemampuannya yang satu ini juga kuyakini terasah karena buku-buku yang sudah dilahapnya. Jadilah kami berdua seringkali berkolaborasi dalam membaca keadaan, masalah hingga fenomena di sekitar kami.

Temanku ini juga memiliki selera busana yang sangat baik, kumenyadarinya di masa-masa kuliah. Tapi kini, sorry to say Nasto, keterampilan padu padannya berhenti di satu titik, entah mengapa. Kumenduga pasti ada hubungannya dengan isu berat badannya yang kini mengikuti tren ekonomi, mengalami inflasi! Hahahahahaha… Kalau kalian melihat tampilan fisiknya, pasti akan berpikir kalau temanku ini keturunan Batak dan memiliki tingkat emosi dan keberanian layaknya orang Batak kebanyakan, begitu juga pikiranku awalnya. Tenot! Benar-benar valid ungkapan “don’t judge a book by its cover” itu.

Satu hari, Nasto dan salah seorang teman kami yang juga teman terdekatnya, Karien, biasa kupanggil Karcut, mengantri di BAAK (bisa di googling mungkin kepanjangannya, karena memori selektifku sudah bekerja dengan baik untuk hal ini) untuk mengurus salah satu proses akademis perkuliahan, hingga tiba-tiba saja ada mahasiswa lain yang menyalip antrian mereka dan tidak ada mahasiswa lain yang protes pada si penyelak itu, termasuk kedua temanku ini. Bukan berarti mereka ikhlas diselak, mereka kesal sekali, mendumel satu sama lain, hingga Nasto punya ide brilliant untuk memanggilku yang saat itu berada sekitar 5 gedung dari gedung BAAK supaya aku bisa memberi pelajaran baik lisan maupun perbuatan pada si penyelak tadi. Jadilah mereka berdua membagi tugas, Karcut bertugas untuk memanggilku dan Nasto tetap mengantri guna tidak menyia-nyiakan waktu yang sudah mereka habiskan sebelumnya.

Agak sedikit kaget juga ketika Karcut menghampiriku dengan tergopoh-gopoh, setelah mendengar laporan singkat nan jelas darinya, tanpa banyak cing cong berangkatlah kami ke tempat Nasto berada dan tanpa tedeng aling-aling langsung kutunaikan tugasku secara lisan, karena ternyata peringatan lisan sudah cukup untuk membuat si penyalip menyadari kesalahannya dan insyaf hingga kembali mengantri dari belakang lagi. Sekilas kulihat senyum sombong dan bangga di wajah kedua temanku nan konyol itu. Yah, begitulah, dua teman yang tidak memiliki keberanian untuk membela dan menjaga diri sendiri. Pembelaan yang selalu mereka bilang, “Buat apa punya temen galak kayak loe! Hahaha…”. Benar-benar teman-teman yang menyusahkan bukan????

Tak lengkap bercerita tentang Nasto tanpa menyebut Agus Jemat. Siapa itu Agus Jemat? Yang pasti dia seorang pria, karena Agus memang nama pria, menggelikan sekali membayangkan wanita bernama Agus. Hihi! Kalau Jemat aku tak punya petunjuk sama sekali, entah apa artinya, aku tak peduli. Baiklah, si Agus ini adalah sama-sama mahasiswa seperti kami saat itu, dari angkatan yang sama, universitasnya juga sama, tapi jurusan kami berbeda. Dia mempelajari bidang yang tak kami mengerti, berkumpul dengan komunitas yang tak kami mengerti, melakukan kegiatan yang juga seringkali tak kami mengerti, berbicara tentang hal-hal yang kami usahakan sebisa mungkin untuk dimengerti.

Jujur saja, aku pura-pura mengerti ketika mengobrol dengannya guna mencari-cari celah biar Nasto bisa melancarkan serangannya, ralat, maksudku biar aku bisa melancarkan serangan-seranganku atas nama Nasto. Begitulah yang harus kau lakukan jika temanmu pasif, kau harus aktif. Jika temanmu lapar, kau harus usaha cari makan. Jika temanmu tak bisa berpikir, kau harus berpikir untuknya. Jika temanmu sedih, kau harus melucu, bukan menyediakan tisu. Jika temanmu tak kunjung menerima tepukan dari tangan yang lain, kau harus mendorong tangan lain itu agar menepuk tangan temanmu.

Aku yakin kau tidak akan menyadari kehadiran si Agus ini jika kalian berada dalam satu ruangan, karena memang dia tidak eye catching. Kapan pertama kali aku menyadari keberadaannya? Saat Nasto dan aku menjenguk mantan pacarku yang kala itu di masa yang lalu sedang dirawat di rumah sakit. Ternyata oh ternyata, Agus adalah teman mantan pacarku. Di tengah kemesraanku dengan mantan pacar, Nasto membisikkan bahwa pria kurus berambut panjang yang mengenakan baju hitam di tempat tidur sebelah adalah Agus Jemat, pria yang ditaksirnya. Terkejut ku mendengarnya, tapi berhubung terlalu sibuk dengan hal lain jadilah kulupakan hal besar itu, termasuk wajah pria di tempat tidur sebelah tadi.

Singkat cerita, kisah hidup Nasto selanjutnya diwarnai oleh, apa warna baju Jemat hari ini? (jawabannya selalu hitam), duduk di sisi pendopo bagian mana dia hari ini? (pindah-pindah), terlihat mengobrol dengan siapa dia hari ini? (seringkali dengan wanita dan beberapa sahabatnya), bagaimana raut wajahnya hari ini? (jarang tersenyum, kecuali di tahun terakhir perkuliahan), siapa pacarnya kali ini? (ganti-ganti, tapi seleranya kurang ok karena pacar-pacarnya tipe wanita kebanyakan), apa kegiatannya saat ini? (banyak, tapi yang paling kami suka adalah melukis dengan teknik khas Bali yakni menggunakan potongan bambu. Ini kegiatan yang paling berpengaruh dalam proses pendekatan Nasto, maksudku dalam proses mendekatkan Nasto dengannya), ada kabar terbaru apa tentang dia? (rambutnya yang panjang keriting itu akhirnya di potong pendek, membuat dia terlihat lebih segar dan rapih), apa dia mau datang ke tempat dimana Nasto menunggu dengan hati yang pasti ingin meledak? (Iya, ternyata dia bukan jenis pria yang sok jual mahal), bagaimana reaksinya mendengar ungkapan hati Nasto? (Hangat dan menghargai semua yang keluar dari hati), apakah dia berubah setelah pengungkapan itu? (iya, menjadi seseorang yang lebih ramah, tidak hanya pada Nasto juga pada teman-temannya), bagaimana kabarnya saat ini? (entahlah, karena aku tidak berhubungan lagi dengan teman-temannya, jembatan penghubung Nasto dan pujaannya. Maaf Nasto, it’s time to move on!). Jemat, Jemat, seandainya kau tahu apa yang telah kau lewatkan. Satu paket kasih sayang, kebahagiaan dan petualangan dari seorang wanita dan sahabat-sahabatnya. Iya, memang kita satu paket Nasto! Paket hemat! Hahaha....

Nasto ini suka sekali tertawa. Tawanya menular bagai penyakit. Menular bahkan sebelum kutahu sebabnya. Seringkali kumenertawakan sesuatu, girang sekali, tanpa alasan. Seperti orang gila saja. Mungkin dia yang mulai gila. Jika tidak, mengapa tawanya lepas, membahagiakan dan bahkan menular seperti penyakit? Aku tidak simpatik pada orang-orang yang suka menertawakan orang lain, ternyata aku lebih parah dari mereka, aku bahkan tidak punya orang lain untuk ditertawakan! Sangat tidak bijak memang, jika aku menyalahkannya atas kelakuanku itu. Tapi, sejak kapan aku mencoba menjadi orang yang bijak? Haha.. Iya, memang dia yang membuatku tertawa. Seringkali saat kami bersama, dia melakukan itu, menyebar penyakitnya. Bukannya aku tak suka, hanya saja terlalu aneh dan sederhana. Kalau tertawa lepas bisa semudah ini, untuk apa ada pelawak di televisi? Buat apa ada Tom & Jerry? Buat apa cobaaa?

Pernah satu kali kami tersandung masalah karena tawa ini. Lagi-lagi, dialah penyebabnya, maaf, aku memang bukan teman yang bijak, jadi tetap ku akan menyalahkannya. Waktu itu Nasto menjabat sebagai sekretaris Badan Eksekutif Mahasiswa Jurusan kami, dan aku sebagai ketua salah satu departemen. Pada salah satu rapat evaluasi, salah seorang teman kami yang menjabat sebagai ketua sedang menyampaikan idenya, ditengah-tengah paparannya, tiba-tiba saja si Nasto tertawa terbahak-bahak karena dia menganggap ide sang ketua itu lucu, dan aku serta merta ikut tertawa lebih terbahak-bahak karena, aku tak tau kenapa Nasto tertawa karena tidak ada yang lucu menurutku, jadi kuputuskan karena tertular tawa bodohnya itu. Jadilah ketua kami itu marah karena tersinggung saat kami menertawakan idenya. Ralat, saat Nasto menertawakan idenya dan aku lagi-lagi tertular tawanya tanpa tahu kenapa. Jadilah kami dua orang dungu yang bisa-bisanya melakukan itu pada orang lain, di depan forum pula. Beruntungnya kami karena ketua kami itu orang yang bijak dan mudah memaafkan.

Mungkin dia memang sudah gila, atau menjelang gila. Kecurigaanku ini bukan tanpa alasan, tapi dia memang mudah sekali tertawa, terutama karena hal-hal kecil, seperti ekspresi anak kecil yang merengut, kelakuan temanku yang selalu tertinggal saat kami mendiskusikan sesuatu, waduh aku tak bisa memberi contoh lagi karena sepertinya dia menertawakan semua hal yang ada di dunianya. Mungkin tingkat kegilaanku sudah jauh diatasnya, karena aku mudah sekali tertawa, dan selalu karena satu hal, tawanya. Anehnya, walau dia gila, tapi dia terlihat amat bahagia. Tetapi rumornya, orang-orang gila memang seringkali terlihat bahagia, karena mereka tidak mengambil pusing kehidupan ini. Patut dicontoh hal yang satu itu, tidak mengambil pusing kehidupan ini. Ikuti saja, alurnya, arusnya, ceritanya, tanpa harus melawan, sedikitpun. Mungkin energi yang biasa digunakan untuk melawan arus dapat kita manfaatkan untuk menyimak hingga sum-sum kehidupan ini pun menjadi tak terlalu sulit untuk diraih dan dikumpulkan. Baiklah teman, aku akan ikut gila bersamamu. Gila dan bahagia, karena kau, dan karena tawa kita.


Wahdini Degayanti